Ketika Filsuf (Tak Perlu) Berhukum



DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI
(Artikel ini juga dimuat di harian Fajar Makassar, Edisi Kamis 6 Februari 2014)
Memang “hukum” harus menjadi panglima, namun postulat demikian hanya berlaku untuk kalangan yang tidak mau menggunakan akal dan kekuatan jiwanya (moral). Sementara Filsuf, sudah sepantasnya, tidak menjadikan “hukum/ aturan” sebagai satu-satunya senjata pamungkas.



Berkali-kali saya mengurungkan niat, agar tidak menuliskan keresahan ini, tetapi semakin menahan sembari membiarkannya, derita personal penulis seolah-olah semakin hari, kian tambah runyam. Pada akhirnya, saya “terpaksa” memberanikan diri untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan.

Awalnya, ketidakberanian itu tidak muncul, karena saya hanya “anak bawang” yang baru lahir kemarin sore, dibandingkan permasalahan yang akan disororti dalam tulisan ini, para pelakunya sangat jauh di atas kapasitas saya. Mereka sudah banyak “makan garam” sepanjang karirnya. Adalah orang yang berpredikat, berpangkat Maha Guru, dan pantas menjadi teladan kita bersama.

Oleh sebab itu, izinkan saya bersimpuh dan memohon maaf kepada mereka semuanya. Para Guru Besar kita semua yang telah menjadi pelaku sejarah atas nama demokrasi, dalam pemilihan Rektor, kursi nomor satu di Unhas kemarin.

Hari ini, saya tidak mungkin dapat menjadi apa-apa, sebagaimana yang disebut oleh para tetua, menjadi “Tau/ orang” yang sesungguhnya, kalau bukan pula berkat mereka. Namun apa salahnya, kita saling mengingatkan kalau toh itu adalah jalan kebaikan, yang selalu kita impikan dan hendak dirajut bersama. Bahkan Baginda Nabiullah Muhammad SAW- pun pernah memesankan dalam sebuah Hadits: “sampaikanlah dari ku walaupun hanya satu ayat (Riwayat Ahmad Bukhari & Tarmidzi)”

Filsuf

Perhelatan akbar kemarin yang bernama pemilihan Rektor Unhas untuk periode 2014-2018, setelah melalui dua putaran. Tidak dapat dipungkiri, merupakan peran besar para senator Unhas, yang telah dipilih dari tiap fakultas. Hingga akhirnya menasbihkan siapa sesungguhnya pemenang suara terbanyak.

Di tengah jalan, sebelum sang pemenang suara terbanyak diorbitkan sebagai Rektor terpilih oleh kementerian pendidikan. Ada sejumlah Senator yang tidak menerima hasil akhir pemilihan. Sekitar 128 anggota senat yang mengaku pendukung Dr. dr Wardihan Sinrang MS (salah satu kandidat Rektor Unhas 2014-2018) hendak menggugat hasil pemilihan itu.

Dengan dalih, pemilihan Rektor tidak “demokratis” sebab suara menteri sebanyak 35 % dicurigai, suaranya tidak menyebar terhadap tiga kandidat Rektor yang maju pada putaran kedua. Jubir Dr. dr. Wardihan Sinrang MS, yaitu Prof Dr. Aswanto, S.H, M.H. cs, akhirnya siap memperadilankan hasil keputusan senat yang memenangkan Prof Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A.

Dari berbagai rilis media cetak maupun online telah tersiar kabar Permen Diknas No. 33/ 2012 hendak diuji kesahihannya. Tidak hanya itu, SK hasil pemilihan juga hendak digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Memang benar adanya, wajar-wajar saja bagi pihak yang merasa haknya tidak dipenuhi, amat pantas menuntut haknya pada lembaga yang telah disediakan yang bernama pengadilan. Apalagi jika Permen Diknas tersebut, sebagai legalitas menteri ikut menentukan kandidat terpilih, nyatanya “mengokupasi” independensi kampus. Pertanyaan singkatnya, tersimpul dalam dua entri poin; Kenapa perwakilan menteri itu tidak memperhatikan “suara terbanyak’ para senator? Dan kemana pula katanya otonomi kampus, jika suara menteri yang “dominan” menentukan?

Lagi-lagi saya memohon maaf, jika harus mengajak, mari sejenak kita semua merenung dalam keheningan, sebagaimana pekerjaan “gila” para Filsuf, untuk berkontemplasi, untuk menggunakan nalar dan logika sehat kita. Sesungguhnya mana yang lebih penting, apakah menghabiskan energi dalam perdebatan yang tak berkesudahan demi kepentingan “ego” kekuasaan semata ? Ataukah duduk bersama, tulus menerima prosedur pemilihan yang telah disepakati sebelumnya, demi nasib dan masa depan Unhas? karena di saat yang sama ada banyak hak Civitas akademika juga harus diperjuangkan. Saya tidak perlu menjawabnya, karena saya tidak punya kapasitas untuk memberinya jawaban. Saya bukan Filsuf yang patut disejajarkan seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Justru gelar Filsuf itu an sich dengan jabatan Doktor, Guru besar (Profesor) yang sudah melalui strata Tiga Universitas. Sementara saya, jangankan jenjang Strata tiga, Strata Dua-pun bukan. Saya hanya lulusan terbawah yang bergelar sarjana, bisa ditemui komunitasnya, bergelimpangan telah menjadi pengangguran.

Namun dari hasil didikan para Maha Guru. Tempat dimana pernah “bersenggama” dengan keilmuwan. Spesifik fakultas hukum, seorang yang telah melewati jenjang Strata Tiga. Kami telah diajarkan, bahwa sesungguhnya hasil penelitian untuk menyandang gelar Doktor Hukum, konten penelitian mereka sudah berada pada tataran Filsafat. Keadilanlah (yang abstrak pendefenisiannya) berada pada tingkatan tertinggi, harus ditempatkan di atas segalanya.

Konklusinya, ketika Doktor telah disandang dari nama para maha guru kita, mereka otomatis menjadi “Filsuf”. Kalau sudah menjadi Filsuf, artinya sudah bijak berpikir, bertutur, dan bertindak. Maka sungguh ironis, ketika seorang yang telah menyandang Doktor (apalagi maha guru) jebolan Fakultas Hukum, justru menjadi “pelopor” yang menciptakan kegaduhan dalam sebuah institusi terhormat itu.

Tak Berhukum
Memang “hukum” harus menjadi panglima, namun postulat demikian hanya berlaku untuk kalangan yang tidak mau menggunakan akal dan kekuatan jiwanya (moral). Sementara Filsuf, sudah sepantasnya, tidak menjadikan “hukum/ aturan” sebagai satu-satunya senjata pamungkas.

Tak urung, Filsuf kenamaan Plato dalam maha karyanya “The Republic” kalau Filsuf-lah pantas dinobatkan sebagai pemimpin, dan tidak perlu terikat pada hukum positif.

Pertanyaannya, kenapa harus Filsuf? Jawabannya sederhana; karena mereka dapat berpikir bijak dan berperilaku bajik tanpa mengejar lagi kekuasaan dan prestise. Pada intinya, mereka lebih memikirkan kepentingan orang banyak dari pada kepentingan pribadi dan komunitasnya.

Sekumpulan aturan perundang-undangan yang telah diketahui, dan dipahami terkristalisasi dalam akal dan kekuatannya jiwanya. Filsuf bukan lagi bermain dalam arena, serba mengacau- balukan, konkretnya “aturan”. Sebab aturan, dapat saja “direkayasa” seolah-olah adil, namun sarat akan kepentingan tertentu.

Di atas segalnya, izinkan saya, dengan hati yang sangat berat, susah untuk mengatakan apalagi menganjurkan; berhentilah, menjadikan “hukum” sebagai panggung perdebatan kalau hanya untuk mencari justifikasi, guna melanggengkan kuasa. Mari berpikir jernih, mengedepankan kekuatan jiwa dan moral kita. Bekerja, bahu membahu demi kemaslahatan bersama. Unhas yang kita cintai bersama adalah kumpulan para Filsuf sedang memanggul cita-cita, dan impian untuk tunas muda harapan bangsa, sepanjang masa. Viva Unhas, hidup perdamaian. Dari timur, kokok ayam jantan kini telah bangkit menunaikan cita-cita. (*)







Responses

0 Respones to "Ketika Filsuf (Tak Perlu) Berhukum"

Posting Komentar

Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors