Islam dan World Book Day



Seorang pujangga Islam yang lahir di Sialkat dari anak keturunan Brahmin di lembah Kashmir bernama Muhammad Iqbal, suatu waktu ketika sakit melanda hingga maut akan merenggutnya, terdendanglah sebuah sajak kehidupan. Sajak agar tetap lahir pujangga-pujangga baru dari dunia Islam.

Iqbal membacakan sajaknya: “Melodi Perpisahan Kau Menggema Atau Tidak/ Angin Hijaz Kau Berhembus Kembali Atau Tidak/ Saat-Saat Hidupku Kau Berakhir/ Entah Pujangga Lain Engkau Kembali Atau Tidak/ Selanjutnya;/ Kukatakan Kepadamu Ciri Seorang Mukmin/ Jika Maut Datang Akan Merekah Senyum Di Bibir.”

Dalam sajak itu, kita akan melihat betapa rindunya seorang pemikir kontemporer bahwa kelak Islam dalam lintas generasi tetap konsisten (istiqomah) untuk selalu melahirkan pemikiran-pemikiran bernasnya. Dan Tak pelak kemudian menjadi sebuah kemewahan, jika berhasil membukukan segala pemikiran bernas itu. Iqbal telah membuktikannya.

Filsuf dan penyair Islam itu telah mewariskan karya yang sangat berharga kepada dunia: The Development of Metaphysics In Persia; Bang I Dara; Asrar-I-Khudi; Rumuz-L-Bekhudi; Chidr-L-Rah; Tulu-I-Islam; Payam-I-Mashriq; Zabur-I-‘Ajam; Javed Namah; The Reconstructions of Religious Thought In Islam; Dan The Reconstruction of Muslim Jurisprudence.

Andaikan tidak ada buku, mungkin kita tidak akan pernah mengenal peradaban. Mungkin kita tidak akan pernah merasakan mudahnya segala aktivitas dilakukan saat ini berkat kemajuan tekhnologi. Kita tidak akan pernah merasakan nikmatnya berselancar di dunia maya. Menggunakan gadget sekedar menyapa teman-teman dekat kita yang terpisahkan oleh jarak.

Perlu diketahui bahwa pesatnya kemajuan tekhnologi saat ini tidak bisa dilepaskan dari andil besar para pemikir Islam. Mulai dari pemikir Eropa hingga Barat sangat kenal dengan pemikir-pemikir Islam, seperti; Ibnu Rusyd (Averroes), Ibnu Sina (Avicena), Al-Khawarizmi hingga Al-Kindi yang ahli medik di zamannya.

Itulah sebabnya Seyyed Hossein Nasr (2006) akhirnya menarik kesimpulan “jika tak ada pemikir Islam, maka setiap tumpukan ilmu dan pengetahuan dari Yunani dan Romawi Kuno mungkin sudah mati. Islamlah yang kembali menghidupkan urgensi pengetahuan dalam beberapa catatan, sebagai bagian dari kerja untuk selalu membangun peradaban.

Di abad ke- 16 oleh kaum Kristianik dalam onderdil kerajaannya, menganggap bahwa mereka yang menaruh perhatian besar terhadap pengetahun dianggap pagan dan bisa mengancam gayibnya keyakinan agama pada waktu itu. Pengetahuan selalu dicap akan men-demistifikasi dan men-demitologi ajaran agama. Copernicus yang dengan teori Geosentrisnya akhirnya dipancang karena dituding melawan ajaran gereja. Senasib dengan takdir yang harus dilalui oleh Galileo pun harus menerima hukum mati karena dianggap melawan Genesis kitab perjanjian lama.

Tapi Islam sungguh tidak demikian. Islam tidak anti kemapanan. Para pemikir seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina mempelajari filsafat Plato dan ajaran Aristotelian, lalu membangunnya kembali dalam dimensi eksatologik dan spiritualis. Maka menjadilah ajaran-ajaran itu berfaedah, lengkap dengan kuncup, bunga dan buahnya, padahal dulunya “filsafat an sich” ibarat pohon tandus yang tidak pernah berbuah sama sekali.



Islam Vs Book Day
World book day yang jatuh pada 23 April kemarin, dalam hemat saya merupakan perayaan yang kurang lengkap tanpa berusaha melakukan napak tilas atas sejarah hancurnya perpustakaan Iskadariyah. Karena di sanalah, di tanah Mesir itu pertama kalinya buku dihimpun dari berbagai penjuru dunia yang telah maju ilmu dan pengetahuannya.

Badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) di tahun 1955 merupakan hal yang keliru jika world book day sepintas lalu hanya ditujukan untuk mengenang William Shakespeare dan Miguel de Cervantes semata.

Padahal peran buku dan literasi bukan hanya miliki seorang, bukan hanya milik sekelas Shakesperae dan Cervantes saja. Merunut dalam sejarah, peristiwa monumental tiga abad sebelum Masehi di Iskandariyah, Mesir di bawah kepemimpinan Iskandar Agung, telah membangun perpustakaan megah yang penuh dengan buku-buku ilmiah.

Berdasarkan kegiatan ilmiah di Iskandariyah itulah, lahir konsep tentang cosmos yang dalam bahasa Yunani berarti harmoni. Para peneliti yang bergabung di perpustakaan tersebut jauh hari sudah memiliki teori tentang alam raya “kosmos” karena alam berada dalam penuh keserasian.

Direktur perpustakaan pada waktu itu, abad ketiga Sebelum Masehi adalah Earastothenes, seorang ahli bumi, astronomi, sejarah, falsafah dan matematika. Di samping itu, dari perpustakaan Iskandariyah juga banyak menampilkan ahli ilmu pengetahuan yang lain. Diantaranya: Hipparchus yang mencoba membuat peta konstelasi bintang; Euclidus penemu sebenarnya ilmu geometri; Dionysius yang meneliti organ-organ berpikir manusia dan meletakkan teori tentang bahasa; Archimedes, seorang genius mekanik yang terbesar sebelum Leonardo Da vinci; dan Hipatya, seorang wanita ahli matematika dan astronomi yang hidupnya berakhir dengan tragis karena dalam perjalanan menuju keperpustakaannya Ia dicegat oleh segerombolan kaum fanatik Kristen, Hipatya diturunkan dari keretanya, lalu dibunuh dengan cara mengelupasi daging dan tulangnya, kemudian dibakar bersama dengan segala isi perpustakaannya.

Jadi, sepatutnya kita, bagi yang merasa pecinta buku dan literasi, mungkin lebih pantas untuk berduka cita atas hancurnya pusat peradaban buku di perpustakaan Iskandariyah. Atas ulah orang-orang fanatik dari kalangan para penganut agama mitologis, dari kalangan kaum Nasrani. Kaum fanatik itu berdalih bahwa mereka yang selalu mencurahkan perhatiannya kepada ilmu merupakan ancaman terhadap agama al-Masih akan dijadikan dongeng dan mitologi yang berwatak tidak ilmiah.

Maka apa yang dinikmati pada hari ini, pengembangan dari dunia literasi ke dalam praktikal kehidupan sehari-hari yang serba muda. Bukan karena kerja keras Barat semata, lalu seenaknya mendaulat dari orang-orangnya saja yang dianggap pelopor dunia literasi. Andaikan tidak ada pemikir Islam seperti Ibnu Rusyd yang kembali mencuplik satu-persatu ajaran falsafah yang masih tersisa dari pemberantasan buku-buku ilmiah, buku falsafah tersebut, oleh kebencian kaum fanatik yang anti pengetahuan ilmiah, boleh jadi tak ada peradaban modernis yang terjadi di beberapa belahan dunia ini.

Untunglah Ibnu Rusyd dalam bukunya Fashl al-Maq’a pernah berseloroh kepada dunia bahwa ‘falsafah dan syari’ah adalah saudara sekandung, sehingga merupakan kezaliman besar jika antara keduanya dipisahkan.” (*)
Sumber Gambar:  3.bp.blogspot.com



Responses

0 Respones to "Islam dan World Book Day"

Posting Komentar

Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors