Syarat Perjanjian yang Sah





Dalam kejadian sehari-hari. Setiap peristiwa hukum yang terjadi entah dengan jual beli, sewa menyewa, perjanjian tukar menukar dan perjanjian utang piutang. Untuk sementara, selalu dikatakan bahwa perjanjian itu sudah sah, jika telah tercapai kesepakatan. Namun masih ada hal pokok yang harus diperhatikan sehingga sahnya perjanjian itu. Syarat sahnya perjanjian, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1320 BW yaitu:
·      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
·      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;.
·      Sutu hal tertentu;
·      Suatu sebab yang legal/ halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu[1]. Keempat hal tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
Kesepakatan (Toesteming/ izin) kedua belah pihak.
Syarat pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau consensus antara pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat 1 BW. Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbale balik; sipenjual menginginkan sejumlah uang, sedang sipembeli menginginkan barang dari sipenjual. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak yaitu dengan :
·      Bahasa yang sempurna dan tertulis;
·      Bahasa yang sempurna secara lisan;
·      Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
·      Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
·      Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.[2]
Dalam perjanjian, terkadang kesepakatan telah terjadi, namun terdapat kemungkinan kesepakatan tersebut mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan, sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut. Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena kekhilafan atau kesesatan, paksaan, penipuan,dan penyalahgunaan keadaan.[3]
Kecakapan bertindak
kecakapan merupakan kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Jika seorang sebagai subjek hukum dianggap cakap berarti ia memilki hak dan kewajiban untuk bertindak dalam perbuatan hukum.
Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Seorang oleh hukum dianggap tidak cakap melakukan perjanjian, jika orang tersebut belum berumur 21 Tahun, kcuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun  ke atas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros.
Dalam Pasal 1330 BW, ditegaskan sebagai orang yang belum dewasa,  tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
·      Orang-orang yang belum dewasa;
·      Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
·      Perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.
Dari sudut  dan rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian dan akan terikat dengan perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsafi benar-benar akan akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuata itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena  seorang yang membuat perjanjian berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.[4]
Berkenaan dengan huruf c dalam Pasal 1330, mengenai hak perempuan dalam hal yang ditetapkan dengan undang-undang sekarang ini, tidak dipatuhi lagi karena hak Perempuan dan laki-laki disamakan dalam hal membuat perjanjian, sedangkan untuk orang-orang yang dilarang oleh perjanjian, untuk membuat perjanjian tertentu sebenarnya tidak tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi hanya berwenang membuat perjanjian tertentu.[5]
Adanya objek perjanjian (onderwerp der overeenkomst)
Objek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Berdasarkan Pasal 1234 BW, prestasi terdiri dari perbuatan positif dan perbuatan negatif, prestasi itu terdiri atas:
1.        Menyerahkan sesuatu/ memberikan sesuatu;
2.       Berbuat sesuatu; dan
3.       Tidak berbuat sesuatu
Menurut Ahmadi Miru,[6] ketiga pembagian prestasi tersebut bukanlah merupakan bahagian dari bentuk prestasi, melainkan cara melakukannya. Hal tersebut jelas dan logis, karena memberikan, berbuat dan tidak berbuat jelas-jelas adalah metode, tekhnik atau cara sehingga prestasi itu terwujud.[7] Lebih tepatnya bentuk prestasi yakni berupa barang maupun jasa. Sedangkan untuk suatu hal tertentu yang tidak berbuat sesuatu harus dijelaskan dalam kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas antar rumah yang bertetangga.”
Adanya causa yang halal (geoorloofde oorzaak)
Dalam Pasal 1320 BW tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal) di dalam Pasal 1337 BW hanya ditegaskan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.[8]
Menurut Subekti, Undang-undang menghendaki untuk sahnya perjanjian harus ada oorzaak atau causa. Secara letterlijk, oorzaak atau causa berarti sebab, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan dengan kata itu adalah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Jika ayat 3 dan 4 tidak dipenuhi maka perjanjian ini batal demi hukum.[9]



[1] Jika syarat objektif dari perjanjian itu tidak tercapai maka perjanjian tersebut, batal demi hukum (dianggap perjanjian itu tidak pernah ada/ null and void). Sementara syarat subjektifnya yang tidak terpenuhi, perjanjian tersebut dapat dibatalkan/ voidable­­_vernietigbaar.
[2] Salim H.S., op.cit, hal.33.
[3] Lihat Pasal 1321 BW “Tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu dberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya paksaan atau penipuan.” Dan Pasal 1449 “perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.”
[4] Subekti, op.cit, 2003b, hal. 18
[5] Lihat pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 Jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.
[6] Ahmadi Miru, op.cit, hal. 68
[7] http://negarahukum.com
[8] Menurut Ahmadi Miru, istilah atau kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Selain kriteria yang disebutkan di atas, bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, ketertiban umum; oleh Satrio menambahkan satu; yakni, bertentangan dengan nilai kepatutan. Bertentangan dengan undang-undang sering disamakan dengan istilah perbuatan melawan hukum. Bertentangan dengan undang-undang bukan hanya yang tertulis. Berdasarkan penafsiran luas tentang Pengertian Perbuatan Melawan Hukum oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung) Negeri Belanda terhadap kasus Lindenbaum Versus Cohen. Maka pengertian perbuatan melawan hukum bukan hanya melakukan pelanggaran undang-undang tertulis tetapi meliputi juga perbuatan :
§  Yang melanggar hak orang lain yang dijamin hukum;
§  Yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku;
§  Yang bertentangan dengan kesusilaan;
§  Yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
[9]Subekti, op.cit, 2003b, hal.  21.


Responses

0 Respones to "Syarat Perjanjian yang Sah"

Posting Komentar

Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors