Dari Pengadaan Tanah Menuju Pencabutan untuk Kepentingan Umum



Tidak selamanya kepentingan pejabat pengadaan tanah untuk kepentingan umum, akan terealisasi. Mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum bisa saja tidak berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan. Karena  pemegang hak atas tanah menolak tawaran ganti rugi dari Panitia Pengadaan tanah. Jalan musyawarah telah dilakukan berkali-kali, namun pihak pemegang hak atas tanah belum mencapai kata “sepakat.”
Sebagai alternatif terakhir, setelah jalan musyawarah oleh Panitia Pengadaan Tanah gagal. Pemerintah (Gubernur/ Bupati/ Walikota) dapat mengajukan usulan dengan pencabutan hak-hak atas tanah (vide: Pasal 18 Perpres Nomor 36 Tahun 2005).
Dalam Pasal 10 ayat 2 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 panitia pengadaan tanah dapat melakukan penitipan ganti rugi di Pengadilan Negeri jika Pemegang Hak Atas Tanah tidak sepakat dengan jumlah ganti rugi yang telah dilaksanakan melalui musyawarah. Sebaiknya, pemberian ganti rugi melalui penitipan di Pengadilan Negeri tersebut, dihindari.
Keberadaan lembaga penitipan merupakan kesalahan penerapan konsep dan pemaksaan kehendak secara  sepihak. Walaupun dalam Perpres Nomor  65 Tahun 2005 tidak mencantumkan prinsip-prinsip pengadaan hak atas tanah, tindakan tersebut jelas bertentangan dengan asas kesepakatan dan asas keadilan.
Penerapan Pasal 1404 BW adalah keliru, untuk kasus ganti rugi dalam rangka pengadaan tanah. Pengadaan tanah bukan merupakan perbuatan hukum pemerintah untuk memperoleh tanah. Bukan hubungan keperdataan anatara para pihak. Beda halnya dengan hubungan utang piutang yang diatur dalam Pasal 1404 BW.
Alasan yang lain. Adalah tidak mungkin setelah jalan musyawarah, dianggap sudah final dan ganti rugi dapat dititipkan di PN. Karena masih ada kesempatan bagi Pemegang Hak Atas Tanah untuk mengajukan keberatan melalui Pasal 17 Perpes Nomor 36 Tahun 2005.
Putusan MA  Nomor 135/ K/ SIP/ 1989 berkenaan dengan Kasus Proyek PLTA Mrica (Banjarnegara), sebagai landasan. Dapat melakukan penitipan ganti kerugian di PN. Jelas keliru, apalagi putusan tersebut masih sarat dengan kepentingan orde baru. Dengan mengacu pada Permendagri Nomor 15 Tahun 1975. Bukankah dalam suasana pemerintahan Orde Baru lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi ketimbang pencapaian keadilan sosial. Terlebih negara kita bukan menganut stare decisis, jadi apa salahnya tidak mengikuti putusan yang cenderung diskriminatif. Mengabaikan prinsip persamaan hak (equity).
Jalan yang tepat/ sesuai dengan mekanisme hukum. Mengapa tidak digunakan mekanisme pencabutan hak atas tanah. Jika mekanisme musyawarah untuk pengadaan tanah. Belum dicapai kesepakatan oleh pemegang hak atas tanah.
Dimisalkan, pemegang kuasa hak atas tanah menolak  ganti rugi Panitia Pengadaan Tanah. Ia dapat mengajukan keberatan atas ganti rugi kepada Gubernur/ Bupati/ Walikota, berdasarkan ketentuan Pasal 17 Perpres Nomor 36 Tahun 2005.
Gubernur/ Bupati/ Walikota mengeluarkan keputusan panitia pengadaan tanah mengenai bentuk dan/ atau besarnya ganti rugi yang akan diberikan. Lalu pemegang kuasa hak atas tanah tetap menolak bentuk dan jumlah ganti rugi tersebut. Gubernur/ Bupati/ Walikota atau Menteri Dalam Negeri dapat mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda yang Ada di Atasnya.
Pencabutan hak atas tanah tersebut. Bukanlah perbuatan sewenang-wenang. Karena keberadaan lembaga pencabutan hak atas tanah didasarkan pada amanat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Merupakan  upaya terakhir yang ditempuh dalam keadaan bersifat memaksa (kepentingan umum, lokasi tidak mungkin dipindahkan sedangkan upaya untuk mencapai kesepakatan telah gagal). Penggunaan pencabutan hak atas tanah tetap bersifat selektif dan hanya dapat diputuskan oleh Presiden (vide: Pasal 18 ayat 4 Perpres Nomor 36 Tahun 2005).
Bila sampai dengan terbitnya Kepres tentang persetujuan pencabutan hak atas tanah. Pemegang Hak Atas Tanah tetap berkeberatan dengan jumlah ganti kerugian sesuai dengan yang ditetapkan dalam Kepres tersebut. Masih terbuka kesempatan bagi Pemegang Hak Atas Tanah untuk melakukan banding. Melalui Pengadilan Tinggi, dengan alasan menolak ganti rugi atas pencabutan hak-haknya. Sebagaiman diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi.
Hemat penulis, apa dikemukakan oleh Maria S.W Sumardjono (2008: 277) dalam bukunya “Tanah dalam Perspektif Hak, Ekonomi, Sosial dan Budaya“ bahwa tanah sudah bisa dikuasai oleh pihak yang memerlukan tanah jika telah keluar Kepres atas pencabutan kuasa atas tanah dari Presiden. Belum terlalu tepat. Bagaimana mungkin pihak yang memerlukan tanah untuk kepentingan umum sudah dapat menguasai. Padahal masih tersedia bagi pemegang hak atas tanah. Waktu untuk mengajukan banding ke PT.
Tanah tersebut baru dapat dikuasai. Jika Putusan Pengadilan Tinggi (sebagai pengadilan yang bersifat final/ tidak bisa kasasi lagi) tersebut telah berakhir/ berkekuatan hukum tetap. Dan dimenangkan pihak yang berkepentingan atas pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Pendapat Maria S.W Sumardjono ada saja benarnya. Kecuali, pemegang hak atas tanah tidak mengajukan banding (bersikap pasif), berarti dianggap ia telah menerima  Keputusan Presiden atas pencabutan hak-haknya.
Dalam batas waktu yang ditentukan (masalah ini juga belum diatur dalam Perpres, mengenai batas waku mengajukan banding ke PT, jika pemegang hak atas tanah menolak ganti rugi melaui keputuan pencabutan hak tanahnya dari Presiden), jika tidak ada banding ke PT. Misalnya 14 hari. Pihak yang berkepentingan untuk pengadaan tanah.  Sudah dapat menguasai dan melakukan kegiatan fisik pembangunannya.



Responses

0 Respones to "Dari Pengadaan Tanah Menuju Pencabutan untuk Kepentingan Umum"

Posting Komentar

Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors